HUKUM PERJANJIAN
Nama : Ade Apriatna
Kelas : 2EB15
NPM : 20213126
UNIVERSITAS GUNADARMA
Ditinjau dari
Hukum Publik
A. Pengertian
Perjanjian
Dalam Hukum
Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional.
Saat ini pada
masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan
peranan yang
sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar
negara.
Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum
internasional
yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek
hukum
internasional lainnya.
Sampai tahun
1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur
oleh hukum
kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh
Komisi Hukum
Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di
Wina dari
tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April –
22 Mei 1969
untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi
kemudian
melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang
ditandatangani
tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27
Januari 1980 dan
merupakan hukum internasional positif.
Pasal 2 Konvensi
Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty)
adalah suatu
persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan
diatur oleh
hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau
lebih instrumen
yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.
Pengertian
diatas mengandung unsur :
a. adanya subjek
hukum internasional, yaitu negara, organisasi internasional
dan gerakan-gerakan
pembebasan.
Pengakuan negara
sebagai sebagai subjek hukum internasional yang
mempunyai
kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian
internasional
tercantum dalam
Pasal 6 Konvensi
Wina. Organisasi internasional juga diakui sebagai pihak
yang membuat
perjanjian dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian
berasal dari
negara-negara anggota dan perjanjian internasional yang dibuat
merupakan bidang
kewenangan organisasi internasional tersebut.
Pembatasan
tersebut terlihat pada Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas
gerakan-gerakan
pembebasan diakui namun bersifat selektif dan terbatas.
Selektif artinya
gerakan-gerakan tersebut harus diakui terlebih dahulu oleh
kawasan dimana
gerakan tersebut berada. Terbatas artinya
ke ikutsertaan gerakan
dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan
keinginan
gerakan mendirikan negaranya yang merdeka.
b. rezim hukum
internasional.
Perjanjian
internasional harus tunduk pada hukum internasional dan tidak
boleh tunduk
pada suatu hukum nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu
dibuat oleh
negara atau organisasi internasional namun apabila telah tunduk
pada suatu hukum
nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah
perjanjian
internasional.
B. Syarat sahnya
perjanjian
Berbeda dengan
perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak
sejak adanya
kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya
menunjukkan
kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan
setelah
perjanjian itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak
belum melakukan
ratifikasi.
Tahapan
pembuatan perjanjian meliputi :
a. perundingan
dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi
bilateral maupun
multilateral;
b. penerimaan
naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi
naskah
perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan
persetujuan dari
semua peserta melalui pemungutan suara;
c. kesaksian
naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu
tindakan formal
yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah
diterima
konferensi.
Pasal 10
Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah
perjanjian atau
sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam
konferensi.
Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan
membubuhi tanda
tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
d. persetujuan
mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam
bermacam cara
tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu
mengadakan
perjanjian, dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah
sebagai berikut
:
a)
penandatanganan,
Pasal 12
Konvensi Wina menyatakan :
- persetujuan
negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan
dalam bentuk
tandatangan wakil negara tersebut;
- bila
perjanjian itu sendiri yang menyatakannya;
- bila terbukti
bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujui
demikian;
- bila full
powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau
dinyatakan
dengan jelas pada waktu perundingan.
b) pengesahan,
melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh
badan yang
berwenang di negara anggota.
C. Akibat
perjanjian
1) Bagi negara
pihak :
Pasal 26
Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku
mengikat
negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau
in good faith.
Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang
harus mengambil
tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya.
Daya ikat
perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
2) Bagi negara
lain : Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat
yang tidak boleh
menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian
internasional
dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan
mereka, dapat
memberikan hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai
akibat pada
negara ketiga tanpa persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2
(6) Piagam PBB
yang menyatakan bahwa negara-negara bukan anggota PBB
harus bertindak
sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu
untuk perdamaian
dan keamanan internasional).
Pasal 35
Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional dapat
menimbulkan
akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan
mereka dimana
persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.
D. Berakhirnya
perjanjian
(1) sesuai
dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
(2) atas
persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
(3) akibat
peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian,
perubahan
kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota,
timbulnya norma
hukum internasional yang baru, perang.
E. Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian,
namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu
untuk diketahui, yaitu:
1. Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan
yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak
dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
2. Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu
perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini
tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
F. Konsensualisme
Konsensualisme berasal
dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan
dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian
kehendak, artinya : apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang
dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut.
Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan
perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”, “accord”, “oke” dan lain-lain
sebagainyaataupun dengan bersama-sama manaruh tanda tangan dibawah
pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak
telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
Bahwa apa yang
dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau
bahwa kehendak mereka adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah
bahwa yang mereka kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”, misalnya : yang
satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang asal diberi sejumlah
uang tertentu sebagai gantinya, sedangkan yanglain ingin memperoleh hak milik
atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang dosebutkan itu
sebagai gantinya kepada pemilik barang.
Dari mana dapat kita ketahui atau kita
simpulkan bahwa hukum perjanjian B.W. menganut asas konsensualise itu? Menurut
pendapat kami, asas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal
yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari
pasal 1338 (1) sepertidiajarkan oleh beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338
(1) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan
untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan
suatu undang-undang.
Pengecualian “Asas
Konsensual”
Ada yang dinamakan
perjanjian-perjanjian “ formal” atau pula yang dinamakan perjanjian “riil” itu
merupakan kekecualian. Perjanjian formal adalah misalnya perjanjian
“perdamaian” yang menurut pasal 1851 (2) B.W. harus diadakan secara tertulis
(kalau tidak maka ia tidak sah), sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian
“pinjam-pakai” yang menurut pasal 1740 baru tercipta dengan diserahkannya
barang yang menjadi obyeknya atau perjanjian “penitipan” yang menurut pasal
1694 baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan. Untuk
perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi
disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata
(riil).
Sudah jelaslah kiranya bahwa asas
konsensualisme itu kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dari pasal 1338
(1). Dari pasal yang terakhir ini lajimnya disimpulkan suatu asas lain dari
hukum perjanjian B.W., yaitu adanya atau dianutnya sistem terbuka atau asas
kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara
menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada perkataan “ semuanya” yang
ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu
seolah-oleh membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan
membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya
undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang
dinamakan “ ketertiban dan kesusilaan umum”.
Kesepakatan berarti
kesesuaian kehendak. Namun kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan.
Kehendak atau keinginan yang disimpan didalam hati tidak mungkin deketahui
pihak lain dan karenanya tidak mugkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk
melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada
mengucapkanperkataan-perkataan , ia dapat dicapai pula dengan memberikan
tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik olehpihak
yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang “menawarkan” (melakukan “offerte”)
maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.
G. Kebebasan Berkontrak
G. Kebebasan Berkontrak
1. Pengertian Asas kebebasan berkontrak
Kontrak atau contracts (dalam bahasa inggris) dalam pengertian
yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah
Peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.
Para
pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiabn untuk
menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan
hokum yang disebut perikatan (verbintenis).
2. Ketentuan Kebebasan Berkontrak dalam KUH
Perdata
Dalam
KUH Perdata, ketentuan mengenai asas kebebasan berkontrak dapat dijumpai dalam
pasal 1338 (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut Subekti, pasal
tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita
diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita
sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya
berupa apa saja yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah
“semua” di dalamnya terkandung asas partij autonomie, freedom
of contract, beginsel van de contract vrijheid, menyerahkan
sepenuhnya kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan
mereka buat, termasuk penuangan ke dalam bentuk kontrak standar.
Menurut Sutan Remi
Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia
mencakup hal-hal berikut : pertama: Kebebasan untuk membuat atau
tidak membuat perjanjian, kedua: Kebebasan untuk memilih pihak
dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, ketiga: Kebebasan untuk
menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya, keempat:
Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian dan kelima: Kebebasan
untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional
(anvullend, optional).
Namun, kebesan tersebut
bukan berarti tanpa batas, yang memungkinkan terjadinya pemaksaan dan
eksploitasi oleh satu pihak terhadap pihak lainnya, sehingga berakibat pada
terjadinya ketidakadilan. Oleh karena itu, Prof. Agus Yudha Hernoko berpendapat
bahwa asas kebebasan berkontrak yang diderivasikan dari penafsiran atas pasal
1338 tersebut harus dibingkai oleh pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem
hukum kontrak yang bulat dan utuh. Pasal-pasal tersebut antara lain:
- Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai
syarat sahnya perjanjian (kontrak)
- Pasal 1335 KUHPerdata, yang
melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu
kausa yang palsu atau terlarang, dengan konskuensi tidaklah mempunyai
kekuatan
- Pasal 1337 KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.
- Pasal 1338 (3) KUHPerdata, yang
menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.
- Pasal 1339 KUHperdata, menunjuk
terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan
undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam pasal 1339 KUHPer bukanlah
kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan
tertentu selalu diperhatikan.
- Pasal 1347 KUHper mengatur
mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara
diam-diam dimasukan ke dalam kontrak (bestandig gebruiklijk beding)
Dengan mengaitkan satu
sama lain pasal-pasal dalam KUHPerdata mengenai ketentuan-ketentuan dalam
melakukan perjanjian, maka kebebasan berkontrak tidak hanya dijamin dalam hukum
perjanjian, namun pada saat bersamaan kebebasan tersebut harus dibingkai
ketentuan-ketentuan lainnya sehingga suatu perjanjian dapat berlangsung secara
proporsional dan adil.
3. Syarat-syarat
didalam asas kebebasan berkontrak
Para pihak dapat
mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all) sebatas
yang tidak dilarang oleh undang-undang, Yurisprudensi atau kepatutan. Jadi yang
dimaksud asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas dimana para pihak bebas
membuat kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut sepanjang memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1. Memenuhi
syarat sebagai kontrak
Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah
sehingga mengikat kedua belah pihak maka kontrak tersebut haruslah memenuhi
standar yang telah ditentukan.
2. Tidak
dilarang oleh Undang-undang
Tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
3. Sesuai
dengan kebiasaan yang berlaku
Pasal 1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa
suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut,
melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan
4. Sepanjang
kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
Menurut Pasal 1338 ayat
(3) KUHPerdata suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan
dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik
bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal
“pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak.
Sebab unsur “ itikad
baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “ klausa
yang legal “dari pasal 1320 tersebut. Dengan demikian dapat saja suatu kontrak
dibuat secara sah. Dalam arti memenuhi semua syarat sahnya kontrak (antara lain
sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata). Dan karenanya kontrak tersebut. dibuat
dengan itikad baik, tetapi justru dalam pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke
arah yang merugikan pihak ketiga. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa kontrak tersebut telah dilaksanakan secara bertentangan dengan
itikad baik.
Asas kebebasan berkontrak
ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum kontrak
tersebut.Dasar hukum dari asas ini adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
H. Pacta Sunt Servanda
Pacta Sunt Servanda (aggrements
must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian
menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini
menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina
1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the
parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap
perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik)
Pacta sunt Servanda pertama
kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah hukum
perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa
seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji
tersebut (promissorum implendorum obligati).
Menurut Grotius, asas pacta
sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan
sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan, yaitu :
1. Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus
berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus
saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
2. Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana
yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang
individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk
mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.
SUMBER : lista.staff.gunadarma.ac.id/.../Hukum+Perjanjian.pdf
http://asashukum.blogspot.com/2012/03/pacta-sunt-servanda.html
Komentar
Posting Komentar