Langsung ke konten utama

Hukum Perjanjian

HUKUM PERJANJIAN

Nama : Ade Apriatna
Kelas : 2EB15
NPM : 20213126
UNIVERSITAS GUNADARMA

Ditinjau dari Hukum Publik
A. Pengertian Perjanjian
     Dalam Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional.
     Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan
     peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar
     negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum
     internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek
     hukum internasional lainnya.
     Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur
     oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh
     Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di
     Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April –
     22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi
     kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang
     ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27
     Januari 1980 dan merupakan hukum internasional positif.
     Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty)
     adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan
     diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau
     lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.
     Pengertian diatas mengandung unsur :
       a. adanya subjek hukum internasional, yaitu negara, organisasi internasional
           dan gerakan-gerakan pembebasan.
           Pengakuan negara sebagai sebagai subjek hukum internasional yang
           mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian
           internasional tercantum dalam
           Pasal 6 Konvensi Wina. Organisasi internasional juga diakui sebagai pihak
           yang membuat perjanjian dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian
           berasal dari negara-negara anggota dan perjanjian internasional yang dibuat
           merupakan bidang kewenangan organisasi internasional tersebut.
           Pembatasan tersebut terlihat pada Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas
           gerakan-gerakan pembebasan diakui namun bersifat selektif dan terbatas.
           Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut harus diakui terlebih dahulu oleh
           kawasan dimana gerakan tersebut berada. Terbatas artinya
           ke ikutsertaan gerakan dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan
           keinginan gerakan mendirikan negaranya yang merdeka.
       b. rezim hukum internasional.
           Perjanjian internasional harus tunduk pada hukum internasional dan tidak
           boleh tunduk pada suatu hukum nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu
           dibuat oleh negara atau organisasi internasional namun apabila telah tunduk
           pada suatu hukum nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah
           perjanjian internasional.

B. Syarat sahnya perjanjian
    Berbeda dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak
    sejak adanya kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya
    menunjukkan kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan
    setelah perjanjian itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak
    belum melakukan ratifikasi.
    Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
      a. perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi
          bilateral maupun multilateral;
      b. penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi
          naskah perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan
          persetujuan dari semua peserta melalui pemungutan suara;
      c. kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu
          tindakan formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah
          diterima konferensi.
          Pasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah
          perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam
          konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan
          membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
      d. persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam
          bermacam cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu
          mengadakan perjanjian, dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah
          sebagai berikut :
          a) penandatanganan,
              Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan :
              - persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan
                dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut;
              - bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya;
              - bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujui
                demikian;
             - bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau
               dinyatakan dengan jelas pada waktu perundingan.
         b) pengesahan, melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh
              badan yang berwenang di negara anggota.

C. Akibat perjanjian
     1) Bagi negara pihak :
         Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku
         mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau
         in good faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang
         harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya.
         Daya ikat perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.
     2) Bagi negara lain : Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat
         yang tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian
         internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan
         mereka, dapat memberikan hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai
         akibat pada negara ketiga tanpa persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2
         (6) Piagam PBB yang menyatakan bahwa negara-negara bukan anggota PBB
         harus bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu
         untuk perdamaian dan keamanan internasional).
         Pasal 35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional dapat
         menimbulkan akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan
         mereka dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.

D. Berakhirnya perjanjian
     (1) sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri;
     (2) atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri;
     (3) akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian,
           perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota,
           timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.

E. Azas-azas Hukum Perjanjian
     Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya          yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
     1. Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak            detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas          ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
     2. Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk                  menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum,              kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas  dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang                      menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang            bagi mereka yang membuatnya.
F. Konsensualisme
    Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak, artinya : apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”, “accord”, “oke” dan lain-lain sebagainyaataupun dengan bersama-sama manaruh tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
   Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”, misalnya : yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang  asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedangkan yanglain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang dosebutkan itu sebagai gantinya kepada pemilik barang.
  Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa hukum perjanjian B.W. menganut asas konsensualise itu? Menurut pendapat kami, asas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1) sepertidiajarkan oleh beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang.
Pengecualian “Asas Konsensual”
    Ada yang dinamakan perjanjian-perjanjian “ formal” atau pula yang dinamakan perjanjian “riil” itu merupakan kekecualian. Perjanjian formal adalah misalnya perjanjian “perdamaian” yang menurut pasal 1851 (2) B.W. harus diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah), sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian “pinjam-pakai” yang menurut pasal 1740 baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau perjanjian “penitipan” yang menurut pasal 1694 baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan. Untuk perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata (riil).
   Sudah jelaslah kiranya bahwa asas konsensualisme itu kita simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dari pasal 1338 (1). Dari pasal yang terakhir ini lajimnya disimpulkan suatu asas lain dari hukum perjanjian B.W., yaitu adanya atau dianutnya sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada perkataan “ semuanya” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu seolah-oleh membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ ketertiban dan kesusilaan umum”.
    Kesepakatan berarti kesesuaian kehendak. Namun kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan didalam hati tidak mungkin deketahui pihak lain dan karenanya tidak mugkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkanperkataan-perkataan , ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik olehpihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang “menawarkan” (melakukan “offerte”) maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.

G. Kebebasan Berkontrak

     1. Pengertian Asas kebebasan berkontrak

      Kontrak atau contracts (dalam bahasa inggris) dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan  juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah Peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.
            Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiabn untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hokum yang disebut perikatan (verbintenis).

    2. Ketentuan Kebebasan Berkontrak dalam KUH Perdata

Dalam KUH Perdata, ketentuan mengenai asas kebebasan berkontrak dapat dijumpai dalam pasal 1338 (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut Subekti, pasal tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa saja yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah “semua” di dalamnya terkandung asas partij autonomiefreedom of contractbeginsel van de contract vrijheid, menyerahkan sepenuhnya kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan ke dalam bentuk kontrak standar.
Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia mencakup hal-hal berikut : pertama: Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kedua: Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, ketiga: Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya, keempat: Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian dan kelima: Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (anvullend, optional).
    Namun, kebesan tersebut bukan berarti tanpa batas, yang memungkinkan terjadinya pemaksaan dan eksploitasi oleh satu pihak terhadap pihak lainnya, sehingga berakibat pada terjadinya ketidakadilan. Oleh karena itu, Prof. Agus Yudha Hernoko berpendapat bahwa asas kebebasan berkontrak yang diderivasikan dari penafsiran atas pasal 1338 tersebut harus dibingkai oleh pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum kontrak yang bulat dan utuh. Pasal-pasal tersebut antara lain:
  1. Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak)
  2. Pasal 1335 KUHPerdata, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu kausa yang palsu atau terlarang, dengan konskuensi tidaklah mempunyai kekuatan
  3. Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
  4. Pasal 1338 (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.
  5. Pasal 1339 KUHperdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam pasal 1339 KUHPer bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan.
  6. Pasal 1347 KUHper mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukan ke dalam kontrak (bestandig gebruiklijk beding)
Dengan mengaitkan satu sama lain pasal-pasal dalam KUHPerdata mengenai ketentuan-ketentuan dalam melakukan perjanjian, maka kebebasan berkontrak tidak hanya dijamin dalam hukum perjanjian, namun pada saat bersamaan kebebasan tersebut harus dibingkai ketentuan-ketentuan lainnya sehingga suatu perjanjian dapat berlangsung secara proporsional dan adil. 


  3. Syarat-syarat didalam asas kebebasan berkontrak

Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all) sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang, Yurisprudensi atau kepatutan. Jadi yang dimaksud asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas dimana para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.      Memenuhi syarat sebagai kontrak
Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak maka kontrak tersebut haruslah memenuhi standar yang telah ditentukan.
2.      Tidak dilarang oleh Undang-undang
Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
3.      Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
Pasal 1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan
4.      Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak.
Sebab unsur “ itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “ klausa yang legal “dari pasal 1320 tersebut. Dengan demikian dapat saja suatu kontrak dibuat secara sah. Dalam arti memenuhi semua syarat sahnya kontrak (antara lain sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata). Dan karenanya kontrak tersebut. dibuat dengan itikad baik, tetapi justru dalam pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan pihak ketiga. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kontrak tersebut telah dilaksanakan secara bertentangan dengan itikad baik.

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open system) dari hukum kontrak tersebut.Dasar hukum dari asas ini adalah Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

H. Pacta Sunt Servanda
   Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik)
                                                       
    Pacta sunt Servanda pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promissorum implendorum obligati).

   Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan, yaitu :
1.         Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan

2.         Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.



SUMBER :  lista.staff.gunadarma.ac.id/.../Hukum+Perjanjian.pdf
                                http://asashukum.blogspot.com/2012/03/pacta-sunt-servanda.html




Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 CONTOH KASUS PELANGGARAN ETIKA PROFESI

1.          Kasus KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono yang diduga menyuap pajak. September tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York. Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun, Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya. Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat eksekutifnya. Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampi

Kelebihan dan Kekurangan Bank Syariah

Kelebihan dan Kekurangan Bank Konvensional dan Bank Syariah 1.       Kelebihan dan Kekurangan Bank Konvensional 1)       Kelebihan Bank Konvensional a.        Nasabah terbiasa dengan metode bunga dibandingkan metode bagi hasil Benar atau tidaknya kembali pada Anda, tapi begitulah kenyataannya. Tidak beragama Islam atau agama yang lain, masyarakat Indonesia lebih mengenal dan terbiasa system bunga dari pada system bagi hasil, walaupun dalam Islam sungguh diharamkan system bunga itu sendiri. Dari keterangan tersebut Nasabah lebih memilih metode bunga yang telah dikenal rakyat kita ini. b.       Bank konvensional lebih beragam Alasan kedua dari  kelebihan dan kekurangan bank konvensional  ini yaitu tentang bank konvensional lebih beragam. Kenapa kami bisa bilang begitu? Karena benar adanya bahwa di bank konvensional yang mana menerapkan system bunga ini lebih kreatif dalam menciptakan produk-produk, kita ambil sebagai contoh yaitu bunga berbunga pada saat menabung di bank kon

Sejarah The Tielman Brothers

Sejarah The Tielman Brothers (indonesia) Tielman Brothers Tielman Brothers The Tielman Brothers adalah sebuah grup musik  bersejarah  asal Indonesia.Mereka adalah anak dari Herman Tielman asal Kupang dan Flora Lorine Hess asal Semarang Musik mereka beraliran rock and roll, namun orang-orang di Belanda biasa menyebut musik mereka Indorock, sebuah perpaduan antara musik Indonesia dan Barat, dan memiliki akar di Keroncong. The Tielman Brothers adalah yang band Belanda-Indonesia pertama yang berhasil masuk internasional pada 1950-an. Mereka adalah salah satu perintis rock and roll di Belanda. Band ini cukup terkenal di Eropa, jauh sebelum The Beatles dan The Rolling Stones. The Tielman Brothers pernah tampil di Istana Negara Jakarta dihadapan Presiden Soekarno.[1] . Karier rekaman mereka dimulai ketika keluarga Tielman pada tahun 1957 hijrah dan menetap di Breda, Belanda. Nama The Tielman Brothers lebih dikenal di Eropa, terutama Belanda. Di Indonesia sendiri, nama T